Kamis, 17 September 2015

Arif dalam Membaca Lingkungan (Resensi Buku Kumpulan Puisi "Rembang Dendang" karya Denni Meilizon)


Judul Buku       : Rembang Dendang
Jenis Buku       : Kumpulan Puisi
Penulis             :Denni Meilizon
Penerbit          :AG Litera
Tahun Terbit   :Cetakan Pertama, September 2013
Tebal Buku      :xxiv + 126 halaman
Harga              :40.000 (belum ong-kir)
ISBN                :978-602-7692-53-4


Akhir-akhir ini, banyak sekali fenomena-fenomena yang luput dari penglihatan manusia, karena sebagian dari kita telah benar-benar sibuk mencari kaya, mencari untung, mencari istri, mencari anak shaleh, sehingga lupa akan tetangga lupa lingkungan, masyarakat dan bahkan lupa keluarga, tidak jarang pula ditemui beberapa orang lupa akan diri mereka sendiri (lupa diri;red). Buku ini mengajak ingatan kita untuk lebih dalam memikirkan hal-hal yang telah disebutkan tadi, dalam hal ini Denni Meilizon menuliskan beberapa fenomena tersebut dengan cara yang "luar logika", butuh pemikiran mendalam untuk mencapai maksud setiap puisi yang dituliskan.
Buku ini mengandung 99 buah puisi yang dibuat dalam berbagai tipe, yang paling panjang ialah puisi "Abal-Abal seperti bla…bla…bla…" yang dimuat pada halaman 90 s/d 92 (3 halaman), dan yang paling pendek adalah sajak yang diberi judul "Ramadhan" yang terdiri dari 4 kata saja (24 huruf). Buku Rembang Dendang ini merupakan kumpulan puisi ketiga karya Denni Meilizon setelah Kidung Pengelana Hujan (Penerbit FAM Publishing, 2012) dan Siluet Tarian Indang (Penerbit FAM Publishing, 2013). Selanjutnya karya-karya beliau juga dimuat di berbagai media di Sumatera Barat dan beberapa antologi puisi bersama.

Dalam buku ini, kita diajak untuk lebih peka terhadap lingkungan, tanpa mengecualikan sang Khalik, beberapa puisi nya mengandung unsur lingkungan keislaman yang kental, di antaranya: Firman Tuhan dan Sebait Kopi, Nuh, Ramadhan, Qiyamul Lail, Lailatul Qadar (2), Ramadhan (2). Asyiknya, Denni Mailizon juga menuliskan jutaan doa pending nya dalam Menghampar doa di Gayo (h.119).

Lebih lanjut, Denni Meilizon juga mengajak pembacanya agar peka terhadap lingkungan alam raya, dalam Singkarak (h.19), Ranting (h.2), Mata Langit, Puncak Gunung, dan Kita (h.5), Riak Maninjau(h.88), dan Tragedi, 15 Januari (h.17), Gandoriah (h.44). Denni juga tak lupa menulis tentang lingkungan keluarga, Hikayat Sebuah Rumah, Hikayat Sebuah Rumah 2, Lukisan Engkau Ayah, Puisi Engkau Ibu, Tataplah Bulan itu Anggia.

Puisi-puisi Denni Meilizon juga mengandung unsur politik, itulah sebab kiranya Dia mampu memimpin Forum Aktif Menulis (FAM) Wilayah Sumatera Barat, beberapa puisi yang mengandung unsur politik di antara nya: Koruptor = Pencuri = Tikus, Rakyat itu Aku, Engkau, dan Kita, Sang Pemimpin.
Kepintaran sang penulis dalam memainkan kata-kata tidak diragukan lagi, kekayaan bahasanya terdiri dari berbagai bahasa yang dipergunakan dalam menulis sajak, baik bahasa daerah maupun bahasa dunia. Ada bahasa Minang (Singkarak;h.19), bahasa Mandailing (Sada;h.85), bahasa Arab (Mahabbah;71), dan Bahasa Inggris (Kita Bicara Korupsi;h.39). 

Kalau boleh menyimpulkan, membaca puisi-puisi yang terdapat dalam buku ini seperti mengajak kita untuk bernyanyi, karena nada-nada dalam puisi nya selalu beriringan, mengajak kita bernyanyi, tentu saja dengan riang dan gembira.
Inilah kutipan yang paling menarik dalam buku ini:

doaku adalah nyawa
berdetak berirama
bernadi

Tidak dapat kesalahan dalam buku ini, untuk itu jika punya duit belilah buku ini, anda tidak akan menyesal membelinya. Tentu saja ketika membelinya membawa teman dan pacar yang banyak. Selamat terhipnotis dan pusing-pusing.

Peresensi: Maulidan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar