Rabu, 07 September 2016

Puisi-puisi Maulidan Rahman Siregar (Harian Rakyat Sumbar, 03 September 2016)



MIE INSTAN RASA KEMARIN

menulislah, hai kawan-kawan
buruh, seperti Wiji, hilang bukan
berarti tidak hidup, terang akan
sampai ke kamarmu, mengetuk
lembut, menyapamu dengan salam
hangat, sehangat pelukan.

menulislah, hai kawan-kawan
buruh, tulis bagaimana indonesia
agar tidak ditulis dengan huruf
kecil, tulis yang pahit dan asam
hidup-- tak mampu beli rokok misalnya,
makan mie instan kemarin malam
selanjutnya.

menulislah, hai kawan-kawan
buruh, belajar photoshop, masuk
dapur rekaman --dengan jalur indie,
yang kau rekam dan jual sendiri
atau apalah-apalah.

beritahu kami, bahwa kawan-kawan
tidak cuma bisa bakar ban, bakar
usaha kami. atau ke sini, ke tempat
kami mengaji, mengeram doa-doa
yang itu ke itu saja.

kekalahan, kawan-kawan
sebenarnya juga berlaku bagi Adam
bukankah kita hanya mengulang-ulang?

1 Mei 2016


KAMU

mencintaimu, aku tak butuh kata-kata
yang buta ke dalam makna

aku mencintaimu, setiap hari begitu
kau mungkin tahun depan, tepat ketika aku
gemar menonton musik pagi-pagi
dan kepalaku pecah kena pintu sebab asyik
bergoyang

mencintaimu, kini aku berteman diam
diam-diam kuintip instagram
diam-diam kucelup senyuman
pada ceruk senyum, bibir merekah
yang baru kau unggah

mencintaimu, aku melipat puisi
menjadikannya pesawat, lalu belajar
terbang di angin

mencintaimu, aku memilih laut
paling dalam
tempat doa-doa dikuburkan

odop,2016


SENJA DI PARIAMAN

senja di Pariaman,
kau masih lari-lari kecil
dari puisi ke puisi, melompat ke tenggara
ke arah bandara, melangkah pergi,
pada entah ke mana

satu pijakan saja, kekasih
menepilah

aku masih ingin menulismu
di antara daun-daun, dan
angin-angin genit ke tulang

semegah pesawat udara, aku menulis cinta
dengan huruf kecil, dengan amat lembut
bagai bisikan malaikat
pada yang, khusnul khatimah

semoga sampai jua doa-doa
ke kamarmu, saat kau malu-malu
menanggalkan baju, di hadapan
cermin bermotif kekupu

jatuh jua mentari ke pelukan
malam, aku bersaksi, bahwa
tiada kepedihan setelah ini,
kau bebas merdeka, berbahagia

odop, 2016



KEPADA IBU

ibu, doa darimu adalah
hujan pagi yang memandikan
pohon-pohon elok rindang.
riuh semesta, wahai jiwa-jiwa
kau lebih dari kata bijaksana
atau apa pun sesudahnya
memilikimu, ibu
kami tak butuh lagi buku-buku
cerita, yang mengajarkan cinta
lewat tokoh utamanya
berjanji pada putaran waktu
kau selalu bumi, selalu jawaban
dari segala murung pertanyaan
kau paling indah
dari hujan bulan juni, juli, dan
agustus. surga boleh meletus
atau tak ada, bila kau mulai
menanak nasi.
peluk kami dengan doa-doa
lebih hangat, ibu
seperti mentari kepada kain
jemuran

ODOP, 2016




*Maulidan Rahman Siregar, lahir di Padang, Sumatera Barat, 03 Februari 1991. Menyelesaikan pendidikannya di IAIN Imam Bonjol Padang. Kini tinggal dan bekerja di Padang Pariaman. Menulis puisi dan cerpen. Tulisannya disiarkan Padang Ekspres. Haluan, Singgalang, DinamikaNews, Duta Masyarakat, Buletin Jejak, Kanal Buletin, Metro Riau, Harian Rakyat Sumbar, Mata Banua, DetakPekanbaru dan tarbijahislamijah.com.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar