Sabtu, 07 Mei 2016

Puisi-puisi Maulidan Rahman Siregar (Haluan, 08 Mei 2016)



ORGANT TUNGGAL

Kami bersenggama dengan lagu sedih
Dengan musik yang belum sempat dikisahkan alam
ketika hujan menangis hebat

Kemanakah perginya para biduan?
Ketika panggung hanya disesaki jantan berhidung awan, dan kepul-kepul asap tinggi yang menuju langit,
Menuju yang hilang?

Bergoyang, kami bergoyang, dengan tangan di kepal, kepala.
Bagaimana kami membawa sesa badan ini, hai Tuhan, hai Sang Penghadir Kantuk?
DI, 23/08/2014


CALON PENYAIR


puisi siapa yang pertama kali kau baca?
di mana? tahunnya? bulannya? tanggalnya?
ia masih hidup atau tidak
ia dalam kepalamu atau tidak
puisi apa yang pertama kali kau pahami?
hei kau, kenapa sudah tidur,
"aku sedang bertanya"
bagun, kataku!
kita cari itu penyair perempuan,
kita bangun kata-kata menjadi sebentuk kalimat tanya,
seperti pecandu internet, pura-puranya, kita banyak tidak tahunya.
Pariaman, 2014


MENJADI PENYAIR?

kenapa masih ingin jadi penyair
bila yang sempat jadi presiden, cuma penyanyi
kenapa masih membaca sajak
bila lagu-lagu bajakan nyatanya sangat sedih

yang tinggi cita-citanya menjadi penyair, mampuslah!
penyair tidak ada apa-apanya
jarang masuk tivi

penyair seperti binatang
banyak yang dibuang
uye...

Ketaping, 8 Desember 2014



KEPADA MALAM

demikian wahai malam
aku telah menidurkan perempuanku dalam kenangan
rindu hanya muslihat ingatan, bukan?

demikian wahai malam
perempuanku telah kutitipkan pada bulan
ia jatuhkan atau ia tinggikan
aku sudah tidur

Pariaman, 2014



PEREMPUAN, DAN HAL-HAL LAIN YANG DIAM DI KEPALA

perkara apa yang diam dalam kepala perempuan, Tuhan
kenapa masih belum jua pergi dari ingatan

Tuhan, kenangan akan jauh lebih tua dari kematian
sampai kapan tulang rusukku Kau sembunyikan?

Pariaman, 2014



PERPISAHAN

kau kulepas dari doa
malam tak ‘kan lagi menjagamu
bulan akan selalu ditutup awan
kau hilang, sayang

di ufuk lain, Tuhan masih menyimpan
terang, bukan?

Ketaping, 7 Juli 2014